Sabtu, 03 Juni 2017

Engkau adalah Aisah Ku

ENGKAU ADALAH AISAHKU
OLEH: Lisda A. Simabur 
Hari ini aku bertemu dengannya di perpustakaan lagi. Aku hanya bisa melihatnya dari jarak jauh, aku menghindari kalau-kalau dia menyadari keberadaanku yang selalu memperhatikannya diam-diam, dia mengingatkanku dengan seseorang jauh di sana, seseorang yang sangat aku sayangi, perbedaannya hanya terletak pada pakaian takwa khas Malaysia yang dikenakan wanita perpustakaan itu, sedangkan wanita yang pernah singgah di hatiku dulu, ah tidak mungkin dia! Dia tomboy.
Namanya Dewi, entah kenapa setiap kali aku melihatnya, aku melihat Aisah pada wajahnya, teman kecilku yang telah menjadi cinta pertamaku tanpa pernah dia sadari, di bangku SMP dulu. Setelah lulus SMP, Aisah pindah ke Nanggroe Aceh Darussalam mengikuti ayahnya yag dipindahtugaskan, komunikasiku sempat lancar dengannya tetapi setelah Tsunami menghempas Aceh akhir tahun 2004 lalu aku kehilangan jejaknya, sampai sekarang aku tidak tahu di mana dia berada. Aisah menghilang bagai ditelan Bumi, tanpa kabar. Kondisi ini membuatku tidak pernah bisa berhenti memikirkannya, di mana sekarang  dia berada, apakah ia benar-benar ditelan Bumi, seperti ratusan ribu korban Tsunami lainnya?
“ Assalamu’alaikum!” terdengar suara laki-laki yang terlalu familiar bagiku.
“Wa’alaikumussalam,” jawabku, menoleh ke asal suara.
“Eh, Andi, sejak kapan kamu di sini?” tanyaku pada pemilik salam yang kini duduk  di sisiku.
“Dari tadi.” Jawabnya, “Kamunya saja yang nggak sadar. Apa sih yang kamu perhatikan?” Andi menatap ke arah beberapa jenak lalu aku terpaku.
“Nggak kok!” elakku.
“Alah, tidak usah mengelak, siapa yang kamu perhatikan?”
Aku bertahan mengelak, untuk hal-hal yang seperti ini aku belum mau terbuka pada siapa saja.
“Ya sudah, kalo gak ngaku, toh kamu gak bisa menyimpan rahasia dari aku.”
Aku hanya tersenyum menanggapi perkataan Andi.
 Andi beranjak pergi dari sisiku, tapi yang membuat aku terkejut  adalah Andi menghampiri sosok berjilbab itu, Dewi. Dengan gaya yang santai Andi memberi salam dan mereka ngobrol layaknya teman akrab. Bagaimana mungkin ini terjadi?! Aku tidak percaya ini! Kenyataan bahwa Andi mengenal Dewi dan aku tidak, sangat membuatku terguncang. Ingin benar aku melangkah santai juga ke arah mereka, tapi kakiku terasa berat, pertanyaan-pertanyaan memenuhi kepalaku...
“Assalamu’alaikum, ya akhi ya ukhti,”  nada dering ponsel itu sukses mengejutkanku untuk kedua kali. Aku mendapat pesan singkat dari Pak Umar, dosen Komunikasi Politik untuk segera mengantarkan makalahku ke ruangannya. Aku beranjak dari tempat duduk dan meninggalkan perpustakaan.
Air mata langit bercucuran sejak perkuliahan Pak Umar dimulai, belum juga mereda bahkan semakin deras.
“Baiklah Saudara sekalian, perkuliahan hari ini saya akhiri.”
Hujan terus-menerus turun dan belum ada tanda-tanda akan berhenti membuatku malas keluar ruangan. Aku teringat pertanyaan yang kemarin memenuhi kepalaku, tentu saja ini waktu yang tepat untuk menanyakan semuanya  pada Andi... tapi mana anak itu? Kulancarkan pandangan mengelilingi ruangan, mencari sosok Andi, dia mudah ditemukan karena tubuhnya tinggi dan rambutnya kribo berwajah Arab, sungguh kombinasi unik yang tidak begitu enak dipandang mata. Dan mataku tertuju pada seseorang yang tertidur pulas di sudut ruangan, itu pastilah Andi. Entah kenapa dia tidak bisa menghentikan kebiasaannya tidur setiap dosen mulai berbicara.
“Hei, Arab! Bangun, dong! Aku mau nanya sesuatu,”
Andi bergeming, sekalipun sudah kulakukan penyiksaan-penyiksaan yang bisa membuat orang normal terbangun. Udara dingin mendukung Andi.
Aku tidak bisa berhenti memikirkan kejadian kemarin, Andi tidak pernah bercerita sebelumnya bahwa dia telah mengenal Dewi padaku, tapi... kenapa juga dia harus bercerita mengenai itu?
Aku mengeluarkan ponsel, menelepon nomor Andi, mungkin saja bisa membangunkannya.
“kau bawa diriku ke dalam hidupmu, kau basuh diriku dengan rasa sayang, senyummu juga sedihmu adalah hidupku, kau sentuh cintaku dengan lembut, dengan sejuta warna...”
Itu dia nada poselnya, biasanya dia langsung bangun begitu ponselnya berdering dan benar saja, sigap ia terbangun, meraih ponsel dan menjawab panggilan.
“HALOO?”
“Halooo... akhirnya kamu bangun juga,”
Andi mengucek kasar matanya dan memandangi aku lama seperti berusaha mengenaliku.
”Ada apa, Raffi?!” wajahnya masih khusyuk, seperti berniat melanjutkan tidurnya.
“Aku mau nanya sesuatu.”
“Mau nanya apa?! Jangan bilang masalah kuliah tadi, aku tidak mendengar Pak Umar sama sekali!”
“Bukan itu,” jawabku sabar, “aku juga tahu kamu pasti dari tadi tidur,”
“Jadi masalah apa?”
Aku terdiam, bingung mau memulai dari mana, aku sudah membayangkan Andi akan tertawa.
“Masalah apa, Raf?!” kali ini Andi sudah sepenuhnya sadar, dan ia tidak sabar.
“Kemarin aku lihat kamu ngobrol dengan seorang mahasiswi di perpustakaan, sejak kapan kamu kenal dia?”
“Mahasiswi yang mana?”
“Berjilbab, kalau tidak salah namanya Dewi.”
“Dewi?! Jadi dia yang kemarin kau perhatikan di perpustakaan? Atau bukan cuma kemarin?” Andi curiga.
Kurasakan kehangatan menjalar di wajahku.
“Aku kenal Dewi karena ayahnya rekan kerja ayahku, memangnya ada apa?”
“Baiklah, aku akan menceritakan semuanya tapi kamu harus tutup mulut, di sini dan setelah ini.”
Andi hanya mengangguk samar.
“Sejak pertama aku melihatnya di perpustakaan, aku mengawasinya diam-diam, bukan tanpa alasan... wajahnya mengingatkan aku dengan seseorang yang aku sayangi dulu.”
“Kalau hanya melihat dari jauh, kenapa kamu bisa tahu namanya?”
“Aku tahu dari mahasiswi yang pernah menyahutinya di depanku.”
“Dan kamu bilang tadi, Dewi mirip seseorang  yang kamu sayangi, siapa?”
“Aisah.”
“Aisah siapa?”
“Aisah teman kecilku, cinta pertamaku.” Aku mendengus pelan, “wajah Dewi sangat mirip dengan Aisah, yang membedakan hanya jilbab.” Lalu aku membeberkan semua pada Andi.
Andi menyeringai, “sebaliknya, Raff , Dewi  juga menceritakan hal yang sama padaku. Ternyata orang itu kamu, Raffi.”
Aku mengernyit tidak mengerti.
“Selama ini Dewi juga diam-diam mengawasimu, katanya kamu sangat mirip dengan dengan teman kecilnya waktu di Makassar dulu, namanya Fian.”
FIAN?
Hujan sudah deras dan semakin deras, petir seolah menyambar tepat di atas kepalaku, air tumpah dari langit mengguyurku, aku membeku, aku sesak.
Apakah aku salah dengar? Apakah ini nyata? Fian? Aku adalah Fian bagi Aisah. Tapi kenapa Aisah telah menjadi Dewi, lagi-lagi pertanyaan menyerbuku.
“Raffi? Hei! Raf...”
Namaku bergema, suaranya nyaring luar biasa, seperti petir, asalnya dari Andi.
“Andi... apa betul Dewi menyebut Fian?” tanyaku shock.
“Iya, dan aku dengar cerita dari ayahku bahwa seminggu sebelum Tsunami, Dewi sekeluarga berimigran ke Malaysia dan akhirnya kembali ke Indonesia, kemudian Dewi melanjutkan kuliahnya di sini.  Namanya benar Aisah. Aku juga tidak mengerti mengapa dipanggil Dewi...,”
Ternyata benar Dewi adalah Aisah. Aisahku.
Aku berlari  keluar ruangan, sekalipun hujan masih urung reda, kuarungi koridor, tujuanku adalah perpustakaan.