Selasa, 11 Desember 2012

TEORI KULTIVASI


TEORI KULTIVASI DALAM MEDIA MASSA
Oleh : Lisda Ariani Simabur

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Berawal dari sejarah hadirnya televisi sebagai salah satu bentuk media massa yang digemari dan telah menyulap jutaan manusia untuk terpaku dalam menerima pesan-pesan yang ditayangkan.  Dimana media massa adalah sebuah alat penangkap siaran bergambar atau penghadiran gambar-gambar penyiaran (broadcast image) yang disejajarkan dengan penemuan roda, karena mampu mengubah sistem peradaban dunia. Bahkan Catherine Cookson dan Charles Dickens menguraikan betapa mengesankannya medium yang dinamakan televisi sehingga pada hakikatnya televisi dianggap sebagai sebuah fenomena kultural, sekaligus medium dimana sepenggal aktivitas budaya hadir dan menjamah kita di dalam rumah.
Perkembangan televisi berdasarkan periode efeknya mulai hadir tahun 1948 sampai 1990an ketika Perang Dunia II selesai sekitar tahun 1945. Televisi disadari telah menjadi babak baru terbentuknya media massa yang dapat memberikan efek kekuatan media (the powerful of media) secara dramatis pada khalayak yang diterpa (exposure). Bahkan kehadiran media televisi telah memberikan pengaruh komersial pangsa pasar dan khalayak di Amerika, berdasarkan dukungan data tahun 1954, menunjukkan bahwa terdapat 55 persen rumah tangga di Amerika telah memiliki perangkat televisi (Pavlik, 2004). Efek tersebut juga telah mengundang banyak kajian-kajian menarik yang membahas masalah televisi sebagai sebuah pengalaman yang membentuk cara berpikir kita tentang dunia.
Sedangkan di Indonesia perkembangan dan teknologi televisi telah dimulai bersamaan dengan dilangsungkannya peristiwa olah raga Asian Games di tahun 1962. Sejak saat itu embrio penyiaran televisi lahir bersamaan dengan didirikannya TVRI oleh Presiden Soekarno. Hal ini ditunjang dengan kehadiran Satelit Palapa untuk pertama kalinya ditahun 1976, TVRI bisa diterima hampir seluruh tanah air. Saat itu program siaran yang ditampilkan mengenai pembangunan, hiburan, dan pendidikan mudah diterima oleh masyarakat awam. Sehingga,  masyarakat bisa well-informed dengan berbagai peristiwa yang terjadi di sekitar mereka.
Selanjutnya tahun 1963 TVRI tidak lagi memonopoli bidang siaran karena telah  merangkul pihak swasta dalam bidang siaran televisi, misalnya RCTI,  SCTV, Indosiar, Televisi Pendidikan Indonesia (TPI),  AN-TV, menyusul berikutnya Indosiar yang resmi go public awal 1995 sampai sekarang banyak bermunculan televisi swasta seperti TRANS TV, Global TV, METRO TV dan bentuk media lainnya yang semakin bebas memberikan tayangan yang disukai oleh khalayak. Padahal tujuan awal pemerintah memberikan izin beroperasinya televisi  swasta sebagai upaya pemerintah untuk mengimbangi masuknya siaran televisi asing yang dianggap dapat membahayakan masyarakat Indonesia. Namun, ternyata penyebarannya telah menimbulkan dampak-dampak positif dan negatif pada khalayak pemirsanya.
Sejauh itu penyebaran atau diseminasi televisi telah menjangkau pasar sampai akhir tahun 1960an, aktivitas riset tertinggi terjadi pada tahun 1990an karena adanya khalayak yang semakin fragmented, dan awal munculnya digitalisasi.
Mulai awal tahun 1990-an kita pindah ke penjara TV hedonistic, ketika muncul beberapa stasiun TV swasta yang berperan tidak lebih dari agen-agen metropolis. TV swasta turut memberi andil dalam melakukan apa yang Cees J. Hamelink (Mulyana 2008) sebut sinkronisasi budaya atau apa yang Joseph Straubhaar dan Robert LaRose (Mulyana 2008) sebut imperealisme budaya, dua versi “globalisasi”. Lewat acara-acaranya yang sebagian besar diimpor : film lepas , film seri, sinetron, film action, shooting, film pembunuhan, dan iklan TV swasta  memasyarakatkan nilai-nilai budaya asing, longgar, dan serba boleh kepada khalayak.
 Dampak medium televisi melalui program acara berita kriminal, film lepas, film action, shooting dan pembunuhan mampu mempengaruhi agresivitas khalayak, serta persepsi negatif khalayak terhadap dunia atas kumulatif efek melalui tayangan televisi.
Berdasarkan sejarahnya bahwa, media televisi di tahun 1960an telah diperbincangkan dan menjadi fokus kajian menarik bagi masyarakat Amerika Serikat. Hal ini terlihat dengan banyak studi dan penelitian terhadap media yang satu ini, baik dari sisi isi media, budaya, dan dampaknya bagi masyarakat karena sifatnya yang audio visual dan mampu memberikan efek dramatisasi visual yang sangat kuat bagi pemirsa. Pesona televisi tampaknya sangat menarik khalayak dan peneliti untuk melakukan kajian atas isi tayangannya bagi khalayak, khususnya pengaruh kekerasan yang diakibatkan oleh munculnya tayangan-tayangan bernuansa kekerasan yang ditampilkan.
Ditambahkan lagi munculnya analisis  mengenai dampak kekerasan yang ditimbulkan televisi seperti yang dikemukakan oleh George Gerbner sebagai “mean world syndrome”, dalam teori Cultivation Analysis.[1] Gerbner menguraikan bahwa para pecandu berat (heavy viwers) televisi menganggap bahwa dunia ini cenderung dipercaya sebagai tempat yang buruk dari pada mereka yang tidak termasuk pecandu berat (light viewers). Efek kultivasi melalui tayangan kekerasan memberi penjelasan bahwa televisi mempunyai pengaruh yang kuat pada diri individu. Bahkan dalam hal yang ekstrim pemirsa menganggap bahwa lingkungan sekitar sama persis seperti yang tergambar dalam televisi sebagai realitas nyata. Disisi lain, tayangan kekerasan dalam dunia tontonan menjadi formula yang bisa menarik secara komersil. Film atau televisi sebagai tontonan ia hanyalah realitas media, bahkan sebagai “realitas” buatan yaitu fiksi, yang berbeda dari realitas media berupa informasi faktual.
Gerbner bersama beberapa rekannya kemudian melanjutkan penelitian media massa tersebut dengan memfokuskan pada dampak media massa dalam kehidupan sehari-hari melalui Cultivation Analysis. Dari analisis tersebut, diperoleh berbagai temuan yang menarik dan orisinal yang kemudian mengubah keyakinan orang banyak tentang relasi antara televisi dan kehidupan nyata

  
B.     Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas maka terdapat beberapa poin yang akan diangkat pada rumusan masalah ini
1.      Perkembangan Teori Kultivasi
2.      Teori Kultivasi Dalam Media Massa
3.      Asumsi Dari Teori Kultivasi
4.      Apalikasi Atau Contoh Teori Kultivasi Pada Realitas Kehidupan



 BAB II
PEMBAHASAN

A.    Perkembangan Teori Kultivasi
            Gagasan tentang cultivation theory atau teori kultivasi untuk pertama kalinya dikemukakan oleh George Gerbner bersama dengan rekan-rekannya di Annenberg School of Communication di Universitas Pannsylvania tahun 1969 dalam sebuah artikel berjudul the televition World of Violence. Artikel tersebut merupakan tulisan dalam buku bertajuk Mass Media and Violence yang disunting D. Lange, R. Baker dan S. Ball (eds).
            Awalnya, Gerbner melakukan penelitian tentang “Indikator Budaya” dipertengahan tahun 60-an untuk mempelajari pengaruh menonton televisi. Dengan kata lain, Gerbner ingin mengetahui dunia nyata seperti apa yang dibayangkan, dipersepsikan oleh penonton televisi itu? Itu juga bisa dikatakan bahwa penelitian kultivasi yang dilakukannya lebih menekankan pada “dampak” (Nurudin, 2004). Menurut Wood (2000) kata ‘cultivation’ sendiri merujuk pada proses kumulatif dimana televisi menanamkan suatu keyakinan tentang realitas sosial kepada khalayaknya.
            Teori kultivasi muncul dalam situasi ketika terjadi perdebatan antara kelompok ilmuwan komunikasi yang meyakini efek sangat kuat media massa (powerfull effects model) dengan kelompok yang mempercayai keterbatasan efek media (limited effects model), dan juga perdebatan antara kelompok yang menganggap efek media massa bersifat langsung dengan kelompok efek media massa bersifat tidak langsung atau kumulatif. Teori kultivasi muncul untuk meneguhkan keyakinan orang, bahwa efek media massa lebih besifat kumulatif dan lebih berdampak pada tataran sosial-budaya dari pada individual.
Menurut Signorielli dan Morgan
(Griffin, 2004) analisis kultivasi merupakan tahap lanjutan dari paradigma penelitian tentang efek media, yang sebelumnya dilakukan oleh George Gerbner yaitu ‘cultural indicator’ yang menyelidiki:
a.       Proses institusional dalam produksi isi media,
b.      Image (kesan) isi media, dan
c.       Hubungan antara terpaan pesan televisi dengan keyakinan dan perilaku khalayak.
            Teori kultivasi ini di awal perkembangannya lebih memfokuskan kajiannya pada studi televisi dan audience, khususnya pada tema-tema kekerasan di televisi. Tetapi dalam perkembangannya, ia juga bisa digunakan untuk kajian di luar tema kekerasan. Misalnya, seorang mahasiswa Amerika di sebuah universitas pernah mengadakan pengamatan tentang para pecandu opera sabun (heavy soap opera). Mereka, lebih memungkinkan melakukan affairs (menyeleweng), bercerai dan menggugurkan kandungan dari pada mereka yang bukan termasuk kecanduan opera sabun (Dominick, 1990).
            Gerbner bersama beberapa rekannya kemudian melanjutkan penelitian media massa tersebut dengan memfokuskan pada dampak media massa dalam kehidupan sehari-hari melalui Cultivation Analysis. Dari analisis tersebut diperoleh berbagai temuan yang menarik dan orisinal yang kemudian banyak mengubah keyakinan orang tentang relasi antara televisi dan khalayaknya berikut berbagai efek yang menyertainya. Karena konteks penelitian ini dilakukan dalam kaitan merebaknya acara kekerasan di televisi dan meningkatnya angka kejahatan di masyarakat, maka temuan penelitian ini lebih terkait efek kekerasan di media televisi terhadap persepsi khalayaknya tentang dunia tempat mereka tinggal.
            Salah satu temuan terpenting adalah bahwa penonton televisi dalam kategori berat (heavy viewers) mengembangkan keyakinan yang berlebihan tentang dunia sebagai tempat yang berbahaya dan menakutkan. Sementara kekerasan yang mereka saksikan ditelevisi menanamkan ketakutan sosial (sosial paranoia) yang membangkitkan pandangan bahwa lingkungan mereka tidak aman dan tidak ada orang yang dapat dipercaya. Gerbner berpendapat bahwa media massa menanamkan sikap dan nilai tertentu. Media pun kemudian memelihara dan menyebarkan sikap dan nilai tersebut antar anggota masyarakat, kemudian mengikatnya bersama-sama pula. Media mempengaruhi penonton dan masing-masing penonton itu meyakininya. Jadi, para pecandu televisi itu akan punya kecenderungan sikap yang sama satu sama lain.

B.     Teori Kultivasi Dalam Media Massa
            Penelitian kultivasi menekankan bahwa media massa sebagai agen sosalisasi dan menyelidiki apakah penonton televisi itu lebih mempercayai apa yang disajikan televisi daripada apa yang mereka lihat sesungguhnya. Gerbner dan kawan-kawannya melihat bahwa film drama yang disajikan di televisi mempunyai sedikit pengaruh tetapi sangat penting di dalam mengubah sikap, kepercayaan, pandangan penonton yang berhubungan dengan lingkungan sosialnya.
            Gerbner berpendapat bahwa media massa menanamkan dan memperkuat ide-ide dan nilai-nilai yang telah terbentuk sebelumnya di dalam masyarakat atau budaya yang telah terbentuk. Media mempertahankan dan menyebarluaskan nilai-nilai tersebut diantara anggota-anggota kebudayaan tersebut, dan mengikatnya menjadi sebuah kesatuan.  Gerbner menyebutnya sebagai efek "mainstreaming" atau efek yang tendensius.
            Gerbner dan kawan-kawan memperkenalkan faktor-faktor mainstreaming dan resonance (Gerbner, Gross, Morgan dan Signorielli, 1980 dalam Griffin, 2004). Mainstreaming diartikan sebagai kemampuan memantapkan dan menyeragamkan berbagai pandangan di masyarakat tentang dunia di sekitar mereka (Tv stabilize and homogenize views within a society). Dalam proses ini televisi pertama kali akan mengaburkan (bluring), kemudian membaurkan (blending) dan melenturkan (bending) perbedaan realitas yang beragam menjadi pandangan mainstream tersebut. Sedangkan resonance mengimplikasikan pengaruh pesan media dalam persepsi realitas dikuatkan ketika apa yang dilihat orang di televisi adalah apa yang mereka lihat dalam kehidupan nyata.
            Dalam konsep teori kultivasi mencerminkan adanya kategorisasi audiens kedalam dua jenis penikmat televisi, yakni "penonton berat/pecandu televisi" dan "penonton ringan". Pecandu berat televisi (heavy viewers), yakni pecandu berat televisi yang seakan-akan dia lebih terpengaruh atau lebih percaya kepada realitas yang dibentuk oleh media dibandingkan dengan kepercayaannya terhadap realitas yang dia alami sendiri secara langsung. Kelompok penonton yang termasuk kategori berat, umumnya memiliki akses dan kepemilikan media yang lebih terbatas. Hal itulah yang menyebabkan mereka mengandalkan televisi sebagai sumber informasi dan hiburan mereka. Karena keterpakuan pada satu media ini, membuat keragaman dan alternatif informasi yang mereka miliki menjadi terbatas. Itulah sebabnya kemudian mereka membentuk gambaran tentang dunia dalam pikirannya sebagaimana yang digambarkan televisi.
            Sedangkan penonton ringan (light viewers) cenderung menggunakan jenis media dan sumber informasi yang lebih bervariasi (baik komunikasi bermedia maupun sumber personal. Kelompok penonton yang termasuk kategori ringan, umumnya memiliki akses media yang lebih luas, sehingga sumber informasi mereka menjadi lebih variatif. Karena kenyataan ini, maka pengaruh televisi tidak cukup kuat pada diri mereka.
            Menurut teori ini, media massa khususnya televisi diyakini memiliki pengaruh yang besar atas sikap dan perilaku penontonnya (behavior effect). Pengaruh tersebut tidak muncul seketika melainkan bersifat kumulatif dan tidak langsung. Inilah yang membedakan teori ini dengan The Hypodermic Needle Theory, atau sering juga disebut The Magic Bullet Theory, Agenda Setting Theory, Spiral Of Silence Theory. Lebih lanjut dapat dikemukakan bahwa pengaruh yang muncul pada diri penonton merupakan tahap lanjut setelah media itu terlebih dahulu mengubah dan membentuk keyakinan-keyakinan tertentu pada diri mereka melalui berbagai acara yang ditayangkan. Satu hal yang perlu dicermati adalah bahwa teori ini lebih cenderung berbicara pengaruh televisi pada tingkat komunitas atau masyarakat secara keseluruhan dan bukan pada tingkat individual.
Secara implisit teori ini juga berpendapat bahwa pemirsa televisi bersifat heterogen dan terdiri dari individu-individu yang pasif yang tidak berinteraksi satu sama lain. Namun mereka memiliki pandangan yang sama terhadap realitas yang diciptakan media tersebut.

C.     Asumsi Dari Teori Kultivasi
a.       Televisi merupakan media yang unik. Asumsi pertama menyatakan bahwa televisi merupakan media yang unik. Keunikan tersebut ditandai oleh karakteristik televisi yang bersifat:
1) Pervasive (menyebar dan hampir dimiliki seluruh keluarga);
2) Assesible (dapat diakses tanpa memerlukan kemampuan literasi atau keahlian lain), dan
3) Coherent (mempersentasikan pesan dengan dasar yang sama tentang masyarakat melintasi program dan waktu).
b.      Semakin banyak seseorang menghabiskan waktu untuk menonton televisi, semakin kuat kecenderungan orang tersebut menyamakan realitas televisi dengan realitas sosial. Jadi menurut asumsi ini, dunia nyata (real world) di sekitar penonton dipersamakan dengan dunia rekaan yang disajikan media tersebut (symbolic world). Dengan bahasa yang lebih sederhana dapat dikatakan bahwa penonton mempersepsi apapun yang disajikan televisi sebagai kenyataan sebenarnya. Namun teori ini tidak menggeneralisasi pengaruh tersebut berlaku untuk semua penonton, melainkan lebih cenderung pada penonton dalam kategori heavy viewer (penonton berat). Hasil pengamatan dan pengumpulan data yang dilakukan oleh Gerbner dan kawan-kawan bahkan kemudian menyatakan bahwa heavy viewer mempersepsi dunia ini sebagai tempat yang lebih kejam dan menakutkan (the mean and scray world) daripada kenyataan sebenarnya. Fenomena inilah yang kemudian dikenal sebagai “the mean world syndrome” (sindrom dunia kejam) yang merupakan sebentuk keyakinan bahwa dunia sebuah tempat yang berbahaya, sebuah tempat dimana sulit ditemukan orang yang dapat dipercaya, sebuah tempat dimana banyak orang di sekeliling kita yang dapat membahayakan diri kita sendiri. Untuk itu orang harus berhati-hati menjaga diri. Pembedaan dan pembandingan antara heavy dan light viewer di sini dipengaruhi pula oleh latar belakang demografis di antara mereka.[2]

D.    Aplikasi Teori Kultivasi Pada Realitas Kehidupan
Efek tayangan televisi, seperti yang dilakukan oleh Leonard Eron dan Rowell Huesman  mengenai efek jangka panjang dari televisi dengan memfokuskan risetnya pada anak-anak yang tumbuh dari 8-22 tahun. Tontonan yang dinikmati pada 8 tahun akan mendorong kriminal pada usia 30 tahun. Sedangkan pernyataan dari Journal of Youth and Adolescence, memuat bahwa bentuk kegemaran, tema-tema antagonis, dan sosok keperkasaan para lelaki yang menginspirasikan musik heavy metal, ternyata sangat digandrungi remaja lelaki yang berprestasi rendah dan tidak mampu belajar dengan baik di sekolah.
Selanjutnya temuan-temuan riset yang dilakukan oleh Baron dan Byrne yang menemukan bahwa terdapat tiga fase dalam riset kultivasi, antara lain  pertama : fase Bobo Doll, kedua adalah fase penelitian laboratorium dan ketiga adalah fase riset lapangan (Baron dan Byrne dalam Rakhmat, 2005). Fase ini dirintis oleh Bandura dan kawan-kawannya yang mencoba meneliti apakah anak-anak yang melihat orang dewasa melakukan tindakan agresi juga akan melakukan agresi sebagaimana yang mereka lihat. Hasilnya  kelompok pertama dan kedua melakukan tindakan agresif, hasilnya sebanyak 80-90 persen dari jumlah kelompok tersebut. Fase kedua penelitian kultivasi yang mencoba mengganti obyek perilaku agresif secara lebih realitis, yaitu bukan lagi boneka plastik melainkan manusia. Adegan kekerasan diambilkan dari film-film yang dilihat para remaja yaitu film serial televisi The Untouchtables. Liebert dan Baron, yang melakukan penelitian generasi kedua ini di tahun 1972, membagi para remaja menjadi dua kelompok yaitu kelompok pertama melihat film The Untouchtables yang berisi beragam adegan kekerasan, dan yang kedua melihat adegan menarik dari televisi tapi tidak dibumbui adegan kekerasan sama sekali. Kemudian mereka diberi kesempatan untuk menekan tombol merah yang dikatakan dapat menyakiti remaja yang berada di ruangan lain. ternyata kelompok pertama lebih banyak dan lebih lama menekan tombol merah dari pada kelompok kedua. Sedangkan  Fase ketiga dilakukan Layens dan kawan-kawan di Belgia tahun 1975. Perilaku agresif diamati pada situasi ilmiah bukan di laboratorium dan dengan jangka waktu yang lama, kegiatan obyek yang diteliti juga tidak diganggu sama sekali. Mereka dibagi kedalam dua kelompok, dimana kelompok  pertama menonton lima film berisi adegan kekerasan selama seminggu dan kelompok kedua menonton lima film tanpa adegan kekerasan. Selama seminggu itu pula perilaku mereka diamati secara intens, dan ternyata kelompok pertama lebih sering melakukan adegan kekerasan (Rakhmat, 2005 ).
Nancy Signorielli (Littlejohn, 1996) melaporkan studi tentang sindrom dunia kejam. Pada aksi kekerasan di program televisi bagi anak, lebih dari 2000 program termasuk 6000 karakter utama selama prime time dan akhir pekan (weekend) dari tahun 1967-1985, menganalisis dengan hasil yang menarik, 70% prime time dan 94% akhir pekan (weekend) termasuk aksi kekerasan. Analisis ini membuktikan heavy viewers memandang dunia muram dan kejam dibandingkan dengan orang yang jarang menonton televisi. Tidak salah jika kemudian Gerbner dan kawan-kawan melaporkan bahwa heavy viewers melihat dunia lebih kejam dan menakutkan seperti yang ditampilkan televisi dari pada orang-orang yang jarang menonton.
Contoh yang lain, para pecandu berat televisi (heavy viewers) akan menganggap bahwa apa yang terjadi di televisi itulah dunia senyatanya. Misalnya, tentang perilaku kekerasan yang terjadi di masyarakat. Para pecandu berat televisi akan mengatakan sebab utama munculnya kekerasan karena masalah sosial (karena televisi yang ditonton sering menyuguhkan berita dan kejadian dengan motif sosial sebagai alasan melakukan kekerasan). Padahal bisa jadi sebab utama itu lebih karena keterkejutan budaya (cultural shock) dari tradisional ke kehidupan modern. Teori kultivasi berpendapat bahwa pecandu berat televisi membentuk suatu realitas yang tidak konsisten dengan kenyataan.
 Sebagai contoh pencandu berat televisi menyatakan bahwa kemungkinan seseorang menjadi korban kejahatan adalah 1 berbading 10. Dalam kenyataan angkanya adalah 1 berbanding 50. Pecandu berat televisi mengira bahwa 20% dari total penduduk dunia berdiam diri di Amerika. Kenyataannya hanya 6%. Pecandu berat percaya bahwa persentase karyawan dalam posisi manajerial atau professional adalah 25%. Kenyataannya hanya 5% (Devito, 1997, lihat juga Nurudin, 2004, Ardianto dkk, 2004). Bagi pecandu berat televisi, apa yang terjadi pada televisi itulah yang terjadi pada dunia sesungguhnya.
Di indoenasia sendiri, program acara sinetron yang diputar televisi swasta Indonesia nyaris seragam. Misalnya Paris Folling in Love, Janji Suci, ABG, dan lain-lain. Masing-masing sinetron tersebut membahas konflik antar orang tua dan anak serta hamil di luar nikah. Para pecandu berat televisi akan mengatakan bahwa di masyarakat sekarang banyak gejala hamil di luar nikah, karena televisi lewat sinetronnya banyak atau bahkan selalu menceritakan kasus tersebut. Bisa jadi pendapat tersebut tidak salah, tetapi itu terlalu menggeneralisasi kesemua lapisan masyarakat. Bahwa ada gejala hamil di luar nikah itu benar, tetapi mengatakan bahwa semua gadis hamil di luar nikah itu salah. Para pencandu sinetron itu sangat percaya bahwa apa yang terjadi pada masyarakat, itulah seperti yang dicerminkan dalam sinetron-sinetron.
Termasuk di sini konflik antara orang tua dan anak. Kognisi penonton akan mengatakan saat ini semua anak memberontak kepada orang tua tentang perbedaan antara keduannya, seperti “orang tua kuno, ketinggalan zaman.” Mereka yakin bahwa televisi adalah potret sesungguhnya dunia nyata. Padahal seperti yang bisa dilihat, tidak sedikit anak-anak yang masih hormat atau bahkan masih mengiyakan apa yang dikatakan orang tua mereka.
Pada kateori aplikasi teori kultivasi dalam kaca mata kekerasan, Gerbner juga berpendapat bahwa gambaran tentang adegan kekerasan di televisi lebih merupakan pesan simbolik tentang hukum dan aturan, alih-alih perilaku kekerasan yang diperlihatkan di televisi merupakan refleksi kejadian di sekitar kita. Jika adegan kekerasan itu merefleksikan aturan hukum yang tidak bisa mengatasi situasi, seperti yang digambarkan dalam adegan televisi, bisa jadi yang terjadi sebenarnya juga demikian. Jadi, kekerasan yang ditayangkan di televisi dianggap sebagai kekerasan yang memang sedang terjadi di dunia ini. Aturan hukum yang biasa digunakan untuk mengatasi perilaku kejahatan yang dipertontonkan di televisi akan dikatakan bahwa seperti itulah hukum kita sekarang ini.
Jika kita menonton acara seperti Buser (SCTV), Patroli (Indosiar), Sergap (RCTI), Brutal (Lativi) dan TKP malam (TV7), akan terlihat beberapa perilaku kejahatan yang dilakukan masyarakat. Dalam acara tersebut tidak sedikit kejahatan yang bisa diungkap. Dalam pandangan kultivasi dikatakan adegan kekerasaan yang disajikan oleh televisi tersebut menggambarkan dunia kita yang sebenarnya. Para pecandu berat televisi akan beranggapan bahwa harus hati-hati keluar rumah karena kejahatan sudah mengincar kita, dan setiap orang tidak bisa dipercaya, boleh jadi kita akan menjadi korban selanjutnya dari kejahatan. Apa yang ditayangkan televisi tersebut dianggap bahwa di Indonesia kejahatan itu sudah sedemikian mewabah dan kuantitasnya semakin meningkat dari waktu ke waktu. Ini menggambarkan bagaimana dunia kejahatan yang ada di Indonesia. Demikian sekelumit contoh-contoh aplikasi teori kultivasi.


 
BAB III
PENUTUP

Simpulan
Teori Kultivasi memusatkan perhatiannya pada pengaruh media komunikasi, khususnya televisi, terhadap khalayak. Televisi merupakan sarana utama masyarakat untuk belajar tentang dunia, orang-orangnya, nilai-nilainya serta adat kebiasaannya.
Teori kultivasi berasumsi bahwa pecandu berat televisi membentuk suatu citra realitas yang tidak konsisten dengan kenyataan.
Selain itu sumber media yang digunakan sangat terbatas sehingga menyebabkan ketergantungan hanya pada satu media yakni televisi. Sedangkan  pecandu ringan televisi membentuk media hanya sebatas realitas media saja. Dimana para pecandu ringan mengakses media yang lebih luas, sehingga sumber informasi mereka menjadi lebih variatif. Karena kenyataan ini, maka pengaruh televisi tidak cukup kuat pada diri mereka.
Teori kultivasi sebenarnya menawarkan kasus yang sangat masuk akal, khususnya dalam tekannya pada kepentingan televisi sebagai media dan fungsi simbolik di dalam konteks budaya. Akan tetapi, teori ini tidak lepas dari sasaran kritik. Gerbner telah dikritik karena terlalu menyederhanakan permasalahan. Perilaku kita boleh jadi tidak hanya dipengaruhi oleh televisi, tetapi oleh banyak media yang lain, pengalaman langsung, orang lain yang berhubungan dengan kita dan sebagainya.



 Daftar Pustaka

Ardianto, Elvinaro, Lukiati Komala E. 2004. Komunikasi Massa Suatu Pengantar. Bandung: Simbiosa Rekatama Media.

Devito, Joseph A., 1997. Komunikasi Antarmanusia Kuliah Dasar. Jakarta: Professional Books.

Dominick, Joseph R. 1990. The Dynamick of Mass Communication. New York: Random House.

Griffin, Emory A. 2004. A First Look At Communication Theory. New York: McGraw-Hill.

Mulyana, Deddy.  2008. Komunikasi Massa (Kontroversi, Teori, dan Aplikasi). Bandung : Widya Padjajaran.

Nurudin. 2004. Komunikasi Massa. Malang: Cespur.
Rakhmat, Jalaluddin. 2005. Psikologi Komunikasi Edisi Revisi. Bandung : Remaja Rosdakarya.

Werner dan James, 2008, Teori Komunikasi. Jakarta : Prenada Media.


Sumber internet


                               

2 komentar:

Unknown mengatakan...

terima kasih atas postinganya,, berkat postingan ibu tugas saya menjadi lebih mudah..

Unknown mengatakan...

Browsing, ngetik keyword contoh teori kultivasi and jreengggg terbuka lah blog ini... tulisanna asa familiar heheheh, ada sejarah di balik penyusunan makalah ni...