Teori Komunikasi Berdasarkan Paradigma Positivisme,
Konstruktivisme, dan Kritis
Oleh : Lisda Ariani Simabur
Teori Komunikasi Berdasarkan
Paradigma Positivisme
Paradigma Positivisme
mendefenisikan komunikasi sebagai suatu proses linier atau proses sebab akibat,
yang mencerminkan pengirim pesan (komunikastor/encoder) untuk mengubah
pengetahuan (sikap/ prilaku) penerima pesan (komunikasn/decoder) yang pasif.
1.
Agenda
Setting Theory ( Teori Penentuan Agenda )
McCombs, M.E. &
Shaw, D. (1972). Teori Penentuan
Agenda (Agenda Setting Theory) adalah teori yang menyatakan bahwa
media massa berlaku merupakan pusat penentuan kebenaran dengan kemampuan media
massa untuk mentransfer dua elemen yaitu kesadaran dan informasi ke dalam
agenda publik dengan mengarahkan kesadaran publik serta perhatiannya kepada
isu-isu yang dianggap penting oleh media massa.
Dua asumsi dasar yang paling mendasari penelitian tentang penentuan
agenda adalah:
(1)
Masyarakat pers dan mass media tidak mencerminkan kenyataan;
mereka menyaring dan membentuk isu;
(2)
Konsentrasi media massa hanya pada beberapa masalah
masyarakat untuk ditayangkan sebagai isu-isu yang lebih penting daripada
isu-isu lain.
Asumsi dasar :
Asumsi teori ini
adalah bahwa media massa memiliki peran yang sangat besar dalam mempengaruhi
khalayak. Jika media memberikan tekanan pada suatu peristiwa, maka khalayak
akan menerima begitu saja. Jadi apa yang dianggap media itu penting, maka
penting juga bagi khalayak.
Contoh :
Media
massa khususnya televisi dalam memberitakan isu tentang pemilihan calon
gubernur dan wakil gurbernur DKI Jakarta. Dimana media massa merefleksikan apa
yang dikatakan para kandidat dalam suatu kempanye pemilu, media massa terlihat
menentukan mana topik yang penting. Sehingga publik bisa terhipnotis dari apa
yang diberitakan media massa, sehingga berpengaruh terhadap pilihan masyarakat
dalam memilih.
2.
Cultivation Theory (Teori
Kultivasi)
Teori Kultivasi
(Cultivation Theory) merupakan salah satu teori yang mencoba menjelaskan
keterkaitan antara media komunikasi (dalam hal ini televisi) dengan tindak
kekerasan. Teori ini dikemukakan oleh George Gerbner (1960). Teori
Kultivasi pada dasarnya menyatakan bahwa para pecandu (penonton berat/heavy
viewers) televisi membangun keyakinan yang berlebihan bahwa “dunia itu sangat
menakutkan” . Hal tersebut disebabkan keyakinan mereka bahwa “apa yang mereka
lihat di televisi” yang cenderung banyak menyajikan acara kekerasan adalah “apa
yang mereka yakini terjadi juga dalam kehidupan sehari-hari”.
Asumsi dasar :
Asumsi teori ini
adalah telivisi mempengaruhi publik dalam rangka menerjemahkan
fenomena-fenomena yang terjadi disekitarnya. Kultivasi itu sendiri memiliki
makna penguatan, pengembangan, perkembangan, penanaman atau pererataan, dalam
artian bagaimana terpaan media (khususnya TV).
Contoh :
Pemberitaan tentang tawuran antar pelajar
sehingga terjadinya pembunuhan. Pemberitaan tersebut telah membuat resahan
orang tua yang takut menyekolahkan anak-anak mereka di sekolah umum. Maka dari
itu orang tua lebih memilih memasukan anaknya di sekolah agama atau pasantren
agar anak-anak mereka tidak melakukan tawuran seperti halnya yang mereka tonton
di TV.
Teori Komunikasi Berdasarkan
Paradigma Konstruktivisme
Konstrutivisme menolak pandangan
positivisme yang memisahlkan subjek dengan objek komunikasi. Dalam pandangan
konstruktivisme, bahasa tidak lagi hanya dilihat sebagai alat untuk memahami
realitas objektif belaka dan dipisahkandari subjek sebagai penyampai pesan.
Konstruktivisme justru menganggap subjek (komunikan/decoder) sebagai faktor
sentral dalam kegiatan komunikasi serta hubungan-hubungan sosial.
1.
Teori Interaksi Simbolik
/Symbolic Interaction
George Herbert Mead
(1969). Orang bergerak untuk bertindak berdasarkan makna yang
diberikan pada orang , benda, dan peristiwa. Makna-makna ini diciptakan dalam
bahasa yang digunakan orang baik untuk berkomunikasi dengan orang lain maupun
dengan dirinya sendiri, atau pikiran pribadinya. Bahasa memungkinkan orang
untuk mengembangkan perasaan mengenai diri dan untuk berinteraksi dengan orang
lainnya dalam sebuah komunitas.
Asumsi dasar :
Asumsi teori ini
adalah seseorang akan bertindak sesuai dengan apa yang dia terima berdasarkan
makna yang diberikan orang lain kepadanya. Terkadang seseorang akan menciptakan
makna dari suatu benda atau lambang, simbol melalui proses komunikasi baik
pesan verbal (seperti kata-kata, suara, bunyi, dll) maupun nonverbal (seperti
body language, gerak fisik, baju status sosial, dll).
Contoh :
Misalnya seorang dosen wanita
yang telah bergelar Profesor dalam bidang pendidikan. Beliau akan bertindak
sebagaimana apa yang melekat pada dirinya. Mulai dari cara berpakaian sampai pada
cara berkomunikasi pasti sangat dijaga karena atribut yang dimilikinya saat
berada pada wilayah akademisi atau lingkungan kampus. Akan tetapi jika Beliau
berada pada lingkungan keluarga maka beliau akan bertindak sebagai seorang ibu
rumah tangga dan tidak lagi sebagai profesor dalam bidang akademisi.
2.
Uses And Gratifications Theory (Teori Kepuasan dan Kegunaan)
Teori uses and
gratifications yang dikemukakan oleh Blumler, Gurevitch dan Katz (1974) ini menyatakan bahwa pengguna
media memainkan peran yang aktif dalam memilih dan menggunakan media. Pengguna
media menjadi bagian yang aktif dalam proses komunikasi yang terjadi serta
berorientasi pada tujuannya dalam media yang digunakannya.
Asumsi dasar
Asumsi teori uses and gratifications adalah
khalayak sudah aktif dan tidak lagi sebagai penerima pasif atas apa yang
diberikan oleh media massa. Di mana khalayak sudah aktif memilih apa yang dibutuhkannya dalam
program-program siaran yang menurutnya terbaik dan khalayak secara bebas
menyeleksi media. Karena media massa bukanlah satu-satunya sumber untuk pemuas
kebutuhan informasi.
Contoh :
Pemberitaan infotaiment yang
marak-maraknya menjadi program unggulan media televisi. Khalayak kini bisa
memilih apa yang dibutuhkannya dan apa yang tidak butuhkan. Jika seseorang
merasa apa yang disajikan media massa dalam sebuah program itu tidak menguntungkan
baginya, maka dia tidak akan mengkonsumsinya atau menerima.
Teori Komunikasi Berdasarkan
Paradigma Kritis
Teori kritis lahir sebagai
koreksi dari pandangan kontruktivisme yang kurang sensitif pada proses produksi
dan reprosuksi makna yang terjadi secara historis maupun intitusional. Analisis
teori kritis tidak berpusat pada kebenaran/ketidakbenaran struktur tata bahasa
atau proses penafsiran seperti pada konstruktivisme.
Tradisi
kritis memiliki cakupan yang luas. Oleh karena itu teori-teori yang barada
dalam tradisi kritis amatlah beraga. Berikut ini akan dibahas :
- Marxisme, ajarana Marx yang asli, sebagai dasar yang mengilhami tradisi kritis
- Teori Kritis Frankfurt School, yang mengabil dasar ajaran Marx, tetapi kemudian mengembangkannya dengan berbagai cara yang kreatif
- Postmodernisme, sebagai aliran besar, beserta cabang-cabangnya, yaitu : Kajian Budaya, Poststrukturalisme, Postkolonialisme.
- Feminisme, yang secara spesisfik mempelajari ”penjeniskelaminan” yang ada dalam berbagai kehidupan sosial.
1.
Teori
Marxist klasik ini dinamakan ’The Critique of Political Economy’ (kritik
terhadap Ekonomi Politik).
Marxisme
dianggap sebagai dasar pemikiran dari semua teori-teori yang ada dalam
tradisi kritis. Marxiesme, berasal dari pemikiran Karl Marx,
seorang ahli filsafat, sosiologi dan ekonomi dan Friedrich Engels, sahabatnya.
Marxisme beranggapan bahwa sarana produksi dalam masyarakat bersifat terbatas.
Ekonomi adalah basis seuruh kehidupan sosial. Saat ini, kehidupan sosial
dikuasai oleh kelompok kapitalis, atau sistem ekonomi yang ada saat ini adalah
sistem ekonomi kapitalis.
Dalam
masyarakat yang menerapkan sistem ekonomi kapitalis, profit merupakan faktor
yang mendorong proses produksi, dan menekan buruh atau kelas pekerja. Hanya
dengan perlawanan terhadap kelas dominan (pemilik kapital) dan menguasai
alat-alat produksi, kaum pekerja dapat memperoleh kebebasan. Teori
Marxist klasik ini dinamakan ’The Critique of Political Economy’ (kritik
terhadap Ekonomi Politik).
Teori Marx tidak
bicara ekonomi semata tetapi ”usahanya untuk membuka pembebasan manusia dari
penindasan kekuatan-kekutan ekonomis”. Menurut Marx, dalam sistem
ekonomi kapitalis yang mengutamakan profit, masing-masing kapitalis beruang
mati-matian untuk mengeruk untuk sebanyak mungkin. Jalan paling langsung untuk
mencapai sasaran itu adalah dengan penghisapan kerja kaum pekerja. Namun kaum pekerja lama-lama memiliki kesadaran kelas
dan melawan kaum kapitalis.
Asumsi dasar :
Asumsi teori ini beranggapan bahwa
kehidupan sosial dikuasai oleh kelompok kapitalis, atau sistem ekonomi yang ada
saat ini adalah sistem ekonomi kapitalis. Dimana para pemegang kekuasaan selalu
memperdaya buruh dalam bekerja. Para buruh selalu ditindas akan kekuasaan
kapitalis, dari ketertindasan itu akhirnya para buruh menyadari semuanya dan
memiliki kesadaran untuk melawan kaum kapitalis.
Contoh :
Sekelompok buruh yang melakukan
aksi demo besar-besaran disebuah perusahaan dikarenakan gaji atau upah mereka
tidak sesuai dengan apa yang mereka lakukan atau kerjakan. Mereka merasa gaji mereka yang didapatkan
sangat kecil dan tidak bisa memenuhi kebutuhan mereka dalam sehari-hari.
2.
Teori Kritis (Frankfurt
School)
Frankfurt
School atau Sekolah Frankfurt merupakan aliran atau mazhab yang secara
sederhana sering dipahami sebagai ”aliran kritis”. Farnkfurt School berasal dari
pemikiran sekelompok ilmuwan German di bidang filsafat, sosiologi dan ekonomi
yang tergabung ”the Institute for Sosial Research” yang didirikan di Frankfurt,
Jerman pada tahun 1923. Anggota-anggotanya antara lain : Max Horkheimer,
Theodor Adorno dan Hebert Macuse.
Maksud teori itu adalah
membebaskan manusia dari pemanipulasian para teknokrat modern. (Sindhunata,
1983). Teori Kritik Masyarakat pada hakekatnya mau menjadi ”Aufklarung”.
Aufklarung berarti : mau membuat cerah, mau mengungkap segala tabir yang
menutup tabir, yang menutup kenyataan yang tak manusiawi terhadap
kesadaran kita. Teori Kritik Masyarakat mengungkapkan apa yang dirasakan oleh
kelas-kelas tertindas, sehingga kelas-kelas ini menyadari ketertindasannya dan
memberontak.
Dalam konteks kedua ini kemudian
nama Jurgen Habermas menjadi sangat terkenal di kalangan akademisi
komunikasi. Menurut Habermas penidasan tidak dapat bersifat total, tetapi masih
ada tempat di mana manusia dapat mengalami ide kebebasan, sehingga selalu masih
ada tempat berpijak untuk menentang penindasan. Tempat itu adalah komunikasi.
Temuan Habermas bahwa komunikasi adalah ”tempat ide
kebebasan” dijelaskan Suseno sebagai berikut : ”Habermas memperlihatkan bahwa
komunikasi tidak mungkin tanpa adanya kebebasan, Kita dapat saja dipaksa
atau didesak untuk mengatakan ini atau itu, tetapi kita tak pernah dapat
dipaksa untuk mengerti. Manangkap maksud orang lain pun tak pernah dapat
dipaksakan. Begitu pula orang tak dapat dipaksa menyadari suatu kebenaran,
untuk menyetujui suatu pendapat dalam hati, atau untuk mencinta seseorang.
Dalam pengalaman komunikasi sudah tertanam pengalaman kebebasan”. (Sindhunata,
1983).
Asumsi dasar :
Asumsi teori ini yaitu membebaskan manusia dari
pemanipulasian para teknokrat modern. Ketika sekelompok atau kaum-kaum yang
tertindas itu menyadari ketertindasannya dan memberontak. Maka Jurgen
Habermas muncul sebagai akademisi komunikasi. Dia berpendapat kalau
ketertindasan yang dialami oleh sekelompok orang itu sifatnya tidak total dan
dapat diubah. tetapi masih ada tempat di mana mereka dapat mengalami ide
kebebasan, sehingga selalu masih ada tempat berpijak untuk menentang
penindasan. Tempat itu adalah komunikasi. Komunikasi dipandang sebagai jalan
keluar untuk menyelesaikan segala tindakan diluar aksi kekerasan. Kerena
komunikasi tidak mungkin tanpa adanya kebebasan.
Contoh :
Dalam aksi protes terhadap
pimpinan yang dilakukan oleh bawahan karena merasa akan ketidak nyamanan dalam
berkeja (entah karena gaji yang minim atau kecil, atau peraturan-peraturan
bekerja yang berlebihan), maka timbullah sikap untuk protes. Akan tetapi jalan
keluar yang dipilih dalam aksi tersebut ialah dengan komunikasi. Komunikasi
dianggap sebagai alat mediasi atau jalan keluar ketika mereka tidak lagi bisa
menerima ketidak nyamanan dalam bekerja dan menyadari ketertindasan yang mereka alami.
Referensi :
Ardianto & Bambang, 2007,
FIlsafat Ilmu Komunikasi, Simbiosa Rekatama Media, Bandung.
B. Aubrey Fisher (penyunting;
Jalaluddin Rakhmat), 1986, Teori-Teori Komunikasi, PT. Remaja Rosdakarya,
Bandung.
EM GRIFFIN, 2003, A First Lookat
Co,,unication Theory, Wheaton College.
Littlejohn, Foss, 2009, Theories
Of Human Communication, Wadsworth, Belmont.
8 komentar:
blog nya mba lisda sangat membantu saya untuk mengetahui paradigma2 dalam komunikasi..
Thanks Mbak untuk tulisannya.. Enak dan mudah dipahami tulisannya..
@lulu fadlina : alhamdulillah,,, mari berlajar dan saling berbagi
@negeri Nurmala : terimakasih,, semoga bermanfaat,,
terimakasih mbk atas informasinya :D
Terima kasih mbak atas informasinya, ini sangat membantu saya mengerjakan tugas Paradigma Teori komunikasi.
Sama-sama
Insyallah selalu bermanfaat
Sama-sama mba santi
Insyallah bermanfaat
mengapa teori agenda setting berparadigma positivis? padahal akar dari teori agenda setting yaitu teori konstruksi realitas sosial media massa berparadigma konstruktivis?
terima kasih
Posting Komentar